Isu lainnya, biaya yang harus dibayar untuk penggunaan spektum (BHP Frekuensi) terlalu tinggi, tidak terjangkau oleh operator. Indonesia masuk dalam kelompok frekuensi yang biayanya tertinggi di Asia Pacifik, bahkan dunia. Padahal kondisi industrinya sedang kurang sehat.
Sigit menekankan bahwa kondisi operator saat ini tertekan oleh kompetisi yang tidak kondusif.
Mengacu pada sejumlah tantangan tersebut, Sigit memprediksi adopsi dan penetrasi 5G di Indonesia, dan mungkin juga di kebanyakan negara, akan berkembang secara natural dan bertahap. Tidak tiba-tiba melonjak tinggi.
Baca Juga:
Kota-kota Ini Dapat Pembaruan Jaringan 5G XL Axiata dari Nokia
“Penetrasi 5G akan berkembang, sejalan untuk kesiapan ekosistem, kesiapan perangkat, dan kesiapan masyarakat pengguna untuk tumbuh demand akan konektivitas yang lebih broadband dan berkualitas,” paparnya.
Dia menerangkan, sejak awal standar implementasi 5G sudah siap setelah langsung digelar di beberapa negara. Sehingga bagi negara yg cepat adopsinya, tahun 2024 ini sudah hampir memasuki tahun kelima adopsi. Misalnya di Korea, Jepang, dan sebagainya.
Namun, pada kenyataannya, tidak selalu proses penggelarannya berjalan mulus. “Misalnya ada yang mempertanyakan, kok tidak seperti yang dijanjikan kinerjanya, awalnya baik tetapi kemudian menurun, atau apakah 5G ini produk sukses atau gagal setelah hampir 5 tahun dan sebagainya,” jelasnya.
“Tantangan-tantangan di atas, harus dicari solusinya sehingga bisa dilewati. Jika menunda 5G, dan berhenti di 4G, konsekuensinya, akan banyak kesempatan inovasi dan use-case baru yang tidak dapat diwujudkan. Pada akhirnya, bukan hanya users, tapi negara juga yang akan dirugikan,” ungkap Sigit.