Technologue.id, Jakarta - Industri telekomunikasi menjadi salah satu industri yang terdampak dengan adanya wabah COVID-19. Beberapa sektor di industri telekomunikasi mengalami pembatasan operasi hingga penurunan layanan setelah virus Corona ini makin meluas. Dikatakan Kamilov Sagala, Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII), seiring status Corona yang meningkat, pabrikan Telekomunikasi Technology Media Telecom (TMT) banyak yang membatasi operasional hingga menutup pabriknya. Menurutnya, hal ini terjadi di lokasi manufaktur utama, baik di Tiongkok maupun negara-negara lain. "Hal ini disebabkan karena masalah-masalah lain terkait sumber daya manusia, termasuk transportasi dan segala macam," kata Kamilov, saat mengisi acara diskusi oleh Indotelko.com, di Jakarta, Senin (16/3/2020).
Baca Juga: Antisipasi Corona, Menkomifo Jalani Pemeriksaan Kesehatan
Pembatasan operasional pabrik ini pun berpengaruh terhadap penetrasi smartphone. Diprediksi, produksi smarpthone akan menurun 12 persen secara year-on-year pada kuartal pertama ini. Jika benar, ini akan jadi angka terendah dalam lima tahun terakhir. Rantai pasokan sendiri sangat bergantung pada kinerja pegawai. Sehingga diliburkannya para pegawai karena corona, sangat memukul suplai rantai dari pasokan ke vendor. Dampak terbesar bagi operator adalah potensi naiknya biaya belanja modal infrastruktur jaringan dan operasional maintenance untuk mempertahankan layanan 7x24, sedangkan dari sisi pendapatan yang mungkin akan sedikit terganggu. Selain itu, pembatasan kunjungan lintas negara dan ketakutan orang untuk berpergian dan yang terbaru adalah penghentian aktivitas umroh oleh Kerajaan Arab Saudi akan berdampak pada pendapatan International Roaming operator, namun kontribusinya tidak lebih dari 5%.Baca Juga: Hati-hati, Ada Malware di Peta Penyebaran Virus Corona
Menyikapi permasalahan ini, Kamilov menyampaikan solusi regulasi untuk menghadapi dampak COVID-19. Diantaranya regulasi pemberian insentif pajak kepada industri telekomunikasi agar bisa meringankan beban pengeluaran mereka. "Banyak insentif pajak yang bisa dilakukan pemerintah. Misalnya mengurangi BHP (Biaya Hak Penggunaan), ini yang diharapkan oleh rekan-rekan operator. Yang paling tinggi saja, operator harus membayar Rp5 Triliun, sedangkan yang kecil harus bayar Rp1,2 Triliun sampai Rp2 Triliun," tutur pria yang juga menjadi pengamat telekomunikasi tersebut. Tak kalah penting, perlu dibuatnya regulasi untuk memperkuat network sharing. Tujuannya agar efisiensi yang dicita-citakan di industri telekomunikasi dapat tercapai. "Hal ini juga bisa dilakukan karena umumnnya BTS dipegang oleh pihak ketiga, bukan operator lagi. Jadi, manage service sudah bisa dijalankan di sini. Artinya, network sharing sudah bisa dijalankan," tandasnya. Dalam kesempatan acara yang sama, Ketua Umum Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII) Andi Budimansyah mengungkapkan bahwa dalam kondisi menghadapi Covid-19, perlu regulasi sederhana yang cepat dengan biaya yang wajar. “Operator butuh bantuan regulasi dan pemerintah saat ini. Terutama dalam hal-hal seperti right of ways fibre optik, tower dan peralatan jaringan, pemasangan FO bawah laut, hingga pembangunan tower,” paparnya.