Technologue.id, Jakarta - Operator telekomunikasi di Indonesia sedang menghadapi deretan masalah. Setidaknya ada empat permasalahan yang dihadapi oleh operator seluler saat ini.
Rudi Purwanto, Anggota Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) mengatakan bahwa masalah yang dihadapi diantaranya regulasi yang ketat, perkembangan layanan Over-The-Top (OTT), kewajiban pembangunan di area Non 3T, serta tarif data yang murah dan saturasi.
Imbas dari berbagai permasalahan tersebut membuat industri telekomunikasi tidak maksimal dalam mengembangkan peran sebagai enabler di era digital yang berkembang pesat saat ini. Untuk kembali sehat, diperlukan solusi-solusi yang bersifat komprehensif.
Soal regulasi, Rudi menjelaskan bahwa kontruksi perizinan di Indonesia masih vertikal sehingga memerlukan proses yang panjang dan prosedur perizinan yang berbeda-beda antar kementerian/lembaga (K/L).
Baca Juga:
Operator Telco dan ISP Dituntut Ikut Perangi Judi Online
"Oleh karena itu solusinya kontruksi perizinan harus dibuat lebih horizontal dan convergence. Perizinan juga harus lebih terintegrasi antar Pusat dan Daerah dan antar K/L," ungkap Rudi, ditemui dalam acara Selular Business Forum dengan tema "Sustainability Operator Telekomunikasi Kunci Tangguhnya Ekosistem Digital di Indonesia", di Jakarta, Senin (2/10/2023).
Lalu, perkembangan OTT yang pesat menambah beban operator untuk membangun infrastruktur yang lebih luas, adopsi teknologi baru, dan menyediakan kapasitas data yang lebih besar. Bahkan platform OTT turut men-dirupsi layanan B2B operator.
"Di satu sisi kita terbebani infrastruktur. Di lain sisi kita mau men-diversifikasi layanan tapi di satu sisi ter-dirupsi juga oleh OTT. Nah pemerintah perlu menerapkan regulasi fair share dan fair contribution terhadap pemain OTT. Dan perlunya memonetisasi layanan OTT dengan bekerjasama dengan operator seluler," pungkasnya.
Menyinggung masalah infrastruktur, operator seluler juga memiliki kewajiban membangun infrastruktur 4G di area Non 3T/blankspot yang dinilai semakin membebani keuangan mereka.
Maka penerapan faktor pengurang diusulkan tidak hanya untuk pita baru yang diseleksi namun juga untuk pita eksisting. Pihak ATSI juga mengusulkan perlu adanya penerapan insentif BHP sampai dengan O Rupiah dan 0%.
Baca Juga:
Menggali Potensi Bisnis Baru Operator Lewat Fixed Mobile Convergence
Lebih lanjut, penetapan tarif data yang murah di Indonesia juga menjadi persoalan utama bagi pelaku industri telekomunikasi. Bagaimana tidak, tarif data di tanah air menjadi yang termurah di ASEAN dan nomor 12 termurah di seluruh dunia, yakni 1GB berkisar Rp6000.
Rudi menekankan, untuk mengatasi hal ini perlu meningkatkan daya beli masyarakat dengan cara meningkatkan GDP, lapangan kerja, dan produktivitas.
Ia pun menyatakan bagaimana layanan seluler menjadi enabler bagi berbagai hal. "Industri seluler membuat sektor dan bisnis baru terus berkembang, termasuk platform digital yang kini jadi tulang punggung ekonomi digital," tutur dia.