Technologue.id, Jakarta - Departemen Kehutanan dan Perlindungan Kebakaran California (Cal Fire) mengandalkan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mendeteksi kebakaran hutan.
Dilansir dari Engagdet (12/8/2023), AI itu bekerja dengan mengambil data dari 1.032 kamera 360 derajat yang ditempatkan di berbagai titik di hutan-hutan California. AI itu kemudian mengidentifikasi ketidaknormalan yang ditunjukkan dari rekaman kamera-kamera tersebut.
Setelah mengidentifikasi ketidaknormalan itu, AI kemudian memberikan laporan kepada layanan darurat atau otoritas lain untuk memeriksa bila terdapat potensi kobaran api yang memerlukan tanggapan. Program tersebut diluncurkan sejak Juli lalu dan telah memadamkan setidaknya satu potensi kebakaran hutan.
Baca Juga:
BRIN: Teknologi AI Bisa Jadi Tool Penggerak Roda Ekonomi
Salah satu kasus, sebuah kamera pernah melaporkan telah merekam adanya api yang menyala pada pukul 3 pagi di Hutan Nasional Cleveland yang terpencil di sebelah timur San Diego. AI melihat titik api itu dan memberi tahu seorang kapten pemadam kebakaran terdekat.
Kapten pemadam kebakaran itu kemudian memanggil sekitar 60 petugas pemadam kebakaran termasuk tujuh mesin pemadam, dua buldoser, dua tanker air, dan dua kru tangan. Cal Fire kemudian melaporkan titik api itu berhasil dipadamkan dalam waktu 45 menit.
Situs web teknologi Alert California mengatakan menggunakan sistem pemindaian LiDAR yang diambil dari pesawat terbang dan drone untuk membuat informasi 3D yang sama persisnya tentang permukaan daratan yang dipindai.
AI itu menggabungkan seluruh teknologi itu untuk membuat ciri-ciri fisik spesies pohon agar dapat mempelajari lebih lanjut tentang biomassa dan kandungan karbon hutan California. Cal Fire mengatakan model ML memanfaatkan petabyte data dari kamera untuk membedakan antara asap dan partikel lainnya.
Baca Juga:
Kominfo: Implementasi AI Harus Diawasi Lewat Kebijakan dan Regulasi
Sistem itu dikembangkan oleh para insinyur dari UCSD menggunakan AI dari perusahaan DigitalPath yang berbasis di California. Cal Fire telah menginvestasikan lebih dari US$ 20 juta (Rp 306 miliar) untuk program itu selama empat tahun terakhir.
“Kami berada dalam iklim ekstrim sekarang. Jadi kami memberi mereka data, karena masalah ini lebih besar dari kita semua,” kata Neal Driscoll, profesor geologi dan geofisika di UCSD yang bertindak sebagai peneliti utama program tersebut. “Kita perlu menggunakan teknologi untuk membantu menggerakkan jarum, meskipun sedikit."
Namun, Driscoll menambahkan bahwa ukuran sampel saat ini terlalu kecil untuk menentukan keefektifan program secara keseluruhan.