Technologue.id, Jakarta - Daya beli yang lebih tinggi disertai dengan preferensi yang meningkat untuk melakukan transaksi tanpa kontak (contactless transactions) akan terus mendorong pertumbuhan ekonomi digital secara eksponensial, menurut Facebook dan Bain & Company yang merilis riset lanjutan dari studi Riding the Digital Wave pada 2019. Studi baru berjudul Digital Consumers of Tomorrow, Here Today ini mengupas akselerasi ekonomi digital dan pengaruhnya terhadap masa depan e-commerce di Asia Tenggara.
Studi ini dilakukan berdasarkan survei kepada sekitar 16.500 konsumen digital dan wawancara dengan sekitar 20+ CXO di enam negara di Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Konsumen digital yang disurvei adalah mereka yang telah melakukan transaksi online setidaknya untuk 2 kategori produk dalam 3 bulan terakhir.
Menurut Bain & Company, pertumbuhan konsumen digital di Asia Tenggara diperkirakan akan mencapai sekitar 310 juta pada akhir 2020, dengan jutaan konsumen lainnya diperkirakan akan bergabung dalam beberapa tahun mendatang.
Pertumbuhan ini awalnya diperkirakan terjadi di tahun 2025 dalam studi tahun 2019, yang berarti menunjukkan percepatan lima tahun hanya dalam tahun 2020 saja. Artinya, hampir 70 persen konsumen di Asia Tenggara akan beralih ke digital pada akhir tahun. Sementara di Indonesia, studi ini juga menemukan bahwa konsumen digital telah tumbuh dari 119 juta, 58% dari total populasi pada 2019, menjadi 137 juta, 68% atau setengah dari total populasi pada 2020.
Konsumen di Asia Tenggara tidak hanya berbelanja lebih banyak secara online seperti yang diperkirakan pada 2019, namun mereka juga berbelanja pada kategori yang lebih luas. Dengan kebiasaan transaksi tanpa kontak dan konsumsi dari rumah yang diperkirakan akan terus berlanjut kendati sudah berakhirnya PSBB, serta sejalan dengan studi terbaru dari Facebook dan Bain & Co. "Southeast Asia Digital Consumer Trends that Shape the Next Normal" pada Juni 2020 silam, orang-orang pun kini lebih memilih untuk berbelanja bahan makanan secara online, dengan 43% responden di Asia Tenggara melakukannya saat ini. Di Indonesia sendiri, antara 39% hingga 49% konsumen digital kini membeli secara online bahan makanan dalam kemasan, bahan makanan segar, dan minuman non-alkohol. Kategori tersebut juga menjadi yang paling sering dibeli dalam tiga bulan terakhir.
Selain itu, studi ini juga menunjukkan potensi yang sangat besar untuk membangun loyalitas dan pertumbuhan merek karena pasar e-commerce masih terbagi-bagi. Pada tahun 2020, konsumen digital di Indonesia mengunjungi 5.1 situs online sebelum membuat keputusan pembelian, sebuah peningkatan yang mencolok dari rata-rata 3.8 situs pada 2019. Alasan utama yang mendasari perilaku ini adalah konsumen mencari ketersediaan produk yang lebih baik (37%) dan harga produk yang lebih terjangkau (35%). Selain mengunjungi lebih banyak situs, 45% konsumen Indonesia juga mengganti merek yang paling sering mereka beli.
Fase pencarian menjadi tahapan yang sangat penting karena 61% konsumen di Indonesia mengatakan bahwa mereka masih tidak tahu apa yang ingin mereka beli ketika berbelanja online dan 53% (dibandingkan dengan 50% di tahun 2019) mengatakan bahwa mereka mengenal tentang produk dan merek baru melalui platform media sosial, video pendek, dan perpesanan (12%).
"Satu dekade terakhir ini adalah tentang bagaimana menghadirkan konsumen di ranah online. Hari ini, dengan perpindahan konsumen digital yang pesat dari offline ke online, ditambah dengan perkembangan kebiasaan konsumsi dari rumah, kita akan melihat lebih banyak merek yang mengubah model bisnis mereka lebih dari "omni-channel" untuk memenuhi kebutuhan konsumen di mana mereka berada. Kuncinya adalah bisnis perlu menyesuaikan tren konsumen masa kini yang akan terus membentuk tatanan kebiasaan baru," ujar Pieter Lydian, Country Director untuk the Facebook Company di Indonesia.
Selanjutnya, laporan ini menemukan bahwa perusahaan penyedia modal untuk investasi di Asia Tenggara mencapai rekor US$ 8,7 miliar untuk modal yang tidak terpakai pada akhir 2019. Hal ini jelas menghadirkan peluang bagi perusahaan rintisan teknologi di Asia Tenggara untuk mengumpulkan lebih banyak dana, bertumbuh, dan bersaing dalam skala yang lebih besar. Laporan ini menunjukkan bahwa disrupsi mungkin lebih terlihat pada sektor kesehatan, pendidikan, dan hiburan online lantaran konsumen secara bertahap menyesuaikan diri dengan gaya hidup konsumsi dari rumah seperti kegiatan pembelajaran di rumah, telemedicine, dan peningkatan preferensi terhadap online gaming dan live streaming.
"Indonesia adalah negara yang dinamis dan tengah bertumbuh pesat untuk menjadi salah satu mesin pertumbuhan ekonomi digital secara regional. Jumlah konsumen digital Indonesia telah tumbuh secara eksponensial dan kebiasaan konsumsi mereka membentuk norma baru saat ini. Melihat ke masa depan, belanja online diperkirakan akan meningkat hampir tiga kali lipat pada 2025 dan mencapai nilai hampir US$ 72 Miliar," ujar Edy Widjaja, Partner dari Bain & Company.