SHARE:
Technologue.id, Jakarta - Salah satu strategi bisnis yang kerap dilakukan oleh pelaku startup dalam menjalankan usahanya adalah praktik 'bakar uang'. Mereka gencar melakukan praktik bakar uang dengan memberikan diskon yang besar, tujuannya agar konsumen tergiur menggunakan layanannya.
Baca Juga: Kantongi Dua Sertifikasi ISO, Startup Ini Berambisi Raih Gelar Unicorn?
Namun investor venture capital mendapat pembelajaran berharga dari kasus startup yang bergerak di bidang coworking space, WeWork. Pembelajaran tentang bagaimana strategi bakar uang bisa meningkatkan valuasi dengan cepat tetapi tak sehat bagi perusahaan. "Kita melihat fenomena global maupun domestik di Amerika Serikat dan Eropa, banyak yang tadinya mau beli saham WeWork tapi IPO-nya batal. Softbank menderita kerugian yang relatif juga besar. Lalu baru-baru ini, OVO misalnya, sahamnya mulai mau dilepas dari sahamnya Lippo Group. Karena salah satunya burning money didalam startup, at the end of the day, kemungkinan besar di tahun 2020 akan terjadi koreksi yang luar biasa besar. Artinya jumlah pemain uang digital yang jumlahnya puluhan itu akan mengerucut menjadi 2 atau 3 pemain besar terkonsolidasi," ujar Bhima Yudistira, Pengamat Ekonomi INDEF, dalam acara Selular Telco Outlook 2020, di Hotel Aston, Jakarta, Senin (2/12/2019). WeWork sempat diambang kebangkrutan karena terancam kehabisan uang setelah gagal melantai di bursa atau IPO karena investor meragukan model bisnis dan tata kelola perusahaan. Untuk selamatkan perusahaan SoftBank harus menyuntikkan US$9,5 miliar. Tak jauh berbeda dengan Uber. Pada kuartal dua 2019, pendapatan Uber tercatat US$3,16 miliar. Namun kerugian yang dicatat pun tak kalah besar, yakni mencapai US$5,2 miliar. Ini adalah kerugian terbesar perusahaan. Begitupun dengan layanan pembayaran digital OVO. Lippo Group telah mengurangi kepemilikannya di dompet digital OVO. Sampai saat ini, Lippo hanya memiliki sebesar 30% saham namun tetap menjadi pemegang saham utamanya. Tak kuat lagi bakar uang untuk membesarkan perusahaan menjadi pertimbangan untuk membagi beban tersebut dengan investor lain. Asal tau saja bakar uang ini dilakukan OVO dalam bentuk memberikan diskon di mitra yang bekerja sama dengannya.Baca Juga: Diguyur Investasi, Startup RedDoorz Bidik Gelar Unicorn
Bhima mengungkap bahwa kecenderungan digital booming masih akan berlangsung namun perlu adanya kekhawatiran terhadap dampak yang bisa ditimbulkan. Dengan 'seleksi alam' ini, Bhima menyebut ini sebagai peluang apabila perusahaan-perusahaan telco mendekati konsolidasi-konsolidasi pemain besar tersebut, maka di situ akan menjadi ceruk pasar yang bisa menjadi blue ocean. Sementara itu, di sektor transportasi online yang sebelumnya ada 10-15 perusahaan, namun saat ini telah menyisakan dua pemain besar, yaitu Gojek dan Grab. Berkembangnya ekosistem digital sesungguhnya memberikan peluang bagi operator dan perusahaan lain untuk menggarap new business. Jumlah pengguna data yang terus melonjak setiap tahunnya, menjadi penopang dari bisnis masa depan ini. "Saya melihat yang salah satu menarik adalah driver-driver ojek online sekarang mengandalkan Telkomsel misalkan, itu artinya provider yang bisa membaca bahwa at the end of the day bisnis-bisnis digital akan mengerucut pada satu-dua pemain besar. Kalau bisa membaca peluang di sana, menawarkan services, dan menjadi pioneer di situ, Saya kira itu salah satu potensi pasar yang terbuka," pungkasnya.