Technologue.id, Jakarta - Belakangan, banyak usaha rintisan berbasis teknologi digital berguguran, terpaksa melakukan berbagai efisiensi untuk bertahan. Gejala ini diistilahkan sebagai tech winter. Lantas bagaimana nasib ke depan usaha rintisan tersebut?
Direktur Eksekutif Lippo Group sekaligus pendiri Venturra Capital John Riady menilai situasi belakangan layak diakui sebagai badai yang menghempas usaha rintisan di hampir semua lini. Bahkan, tegasnya, gelembung pecah usaha rintisan tidak saja terjadi di Indonesia, melainkan pula di pasar global.
Kondisi indikator makro ekonomi yang masih melemah hingga goncangan geopolitik akibat ketegangan di Eropa dan Asia Timur menggoyahkan fondasi usaha rintisan.
Pasalnya, kata John, usaha rintisan masih sangat membutuhkan likuiditas yang tebal sebagai kapital, serta stabilitas pasar.
Di tengah dinamika tersebut, tren usaha rintisan melantai di bursa pun semakin marak sebagai jalan keluar dari krisis pendanaan.
Baca Juga:
Startup Perlu Prioritaskan Model Bisnis
Tren serupa pun tengah melanda bursa di Indonesia, berbagai usaha rintisan berbasis teknologi informasi melakukan Initial Public Offering (IPO).
Exit strategy usaha rintisan meretas jalan IPO pun menjadi mulus seiring regulasi yang memungkinkan startup menjaring dana. Sebagai bentuk new economy, otoritas bursa bahkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menggelar karpet merah bagi usaha rintisan melangsungkan IPO.
Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah menyiapkan papan pencatatan baru yang didedikasikan bagi barisan new economy. Harapannya, dengan strategi tersebut, gairah pasar tetap terjaga bagi usaha rintisan setara dengan papan utama.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan POJK Nomor 22/POJK.04/2021 terkait Multiple Voting Shares (MVS), yang membuka jalan perusahaan rintisan untuk masuk ke pasar modal. MVS yang berlaku dalam jangka waktu tertentu itu diharapkan memproteksi visi dan strategi inovasi usaha rintisan yang digagas para pendiri, meskipun startup telah dimiliki publik.
"Langkah otoritas, baik bursa maupun OJK saling melengkapi. Satu sisi pasar akan tetap bergairah dengan habitat khusus new economy, usaha rintisan pun semakin percaya untuk melantai karena tidak kehilangan kendali inovasi," tambah John.
Persoalannya, walau banyak dilakukan usaha rintisan di luar negeri, IPO hanya salah satu cara usaha rintisan menopang pendanaan. IPO masih menyisakan problem mendasar saham startup yang harus bertarung dengan ekspektasi publik, serta likuiditas pasar.
"Persoalan fundamental lainnya yakni seberapa besar impact inovasi yang terus diciptakan oleh startup tersebut," simpul John.
Berkaca pada indeks S&P 500 Information Technology Sector outperform, selama 2014—2021, saham perusahaan teknologi mengantongi kenaikan mencapai 422 persen (22,9 persen per tahun). Torehan itu memang lebih tinggi dibandingkan indeks S&P 500 yang naik 158 persen (12,6 persen per tahun).
Namun demikian, reli saham teknologi mulai memudar sejak akhir 2021 hingga sepanjang tahun berjalan 2022. Kini, kesenjangan kinerja saham teknologi dengan penghuni indeks S&P 500 semakin melebar.
Baca Juga:
Artificial Intelligence Jadi Solusi di Tengah Ancaman Bubble Startup
Hal serupa, kata John, juga terjadi di dalam negeri. Dari IPO beberapa perusahaan teknologi dengan status unicorn, malah menghadapi koreksi pasar yang cukup dalam.
Di sisi lain, kenyataan demikian memang tak dapat dihindarkan. “Yang terpenting, usaha rintisan itu tetap memiliki prospek dan inovasi yang menjanjikan serta memberikan solusi,” jelas John.
Dia mengungkapkan sebagai investor startup melalui Venturra Capital, hal terpenting dari usaha rintisan adalah valuasi serta forecast future.
Sebagaimana dilakukan Lippo Group dalam upaya mengembangkan berbagai usaha rintisan, prinsip mendasar adalah mencari dan menyeleksi mitra yakni para founder serta startup yang mempunyai visi menyelesaikan persoalan masyarakat.
"Artinya, selama startup itu menawarkan solusi kepada masyarakat dan mengembangkan inovasi yang selalu relevan, maka akan tetap memiliki prospek cerah. Usaha rintisan seperti itu sudah bisa digambarkan melalui visi atau mimpi para founder-nya,” kata John.
Untuk itu, John bersama Venturra Capital telah lama menerapkan empat pilar investasi, meliputi seed funding, investasi pre-IPO, kemitraan, hingga kolaborasi. Dari strategi investasi itu, Lippo Group pun telah melahirkan berbagai usaha rintisan seperti Ruangguru, OVO, Sociola, bahkan unicorn Grab.
"Saya meyakini Tech Winter ini hanya sementara, seluruh dunia merasakannya. Lebih dari itu, IPO perusahaan rintisan harus selalu didukung karena digitalisasi ini adalah keniscayaan, terlebih lagi yang memiliki prospek cerah karena memiliki kekuatan solusi bagi masyarakat," kata John