Technologue.id, Jakarta - Penelitian di Singapura mengungkap bahwa orang yang menggunakan vaksin Sinovac hampir lima kali lebih mungkin terkena gejala parah dari COVID-19 dibandingkan yang menerima vaksin Pfizer-BioNTech/Comirnaty.
Penelitian yang dipublikasikan, Selasa (12/4/2022), melibatkan sekitar 2,7 juta orang di Singapura. Mereka berusia 20 tahun ke atas dan menerima dua dosis di bawah program vaksinasi nasional.
Penelitian mencakup periode tujuh pekan pada 2021 dari 1 Oktober-21 November, ketika kasus di Singapura melonjak karena varian Delta.
Laman Channel News Asia melaporkan, tim, termasuk ahli penyakit menular dari Pusat Nasional untuk Penyakit Menular (NCID) dan Kementerian Kesehatan (MOH), mengamati efektivitas yang relatif lebih rendah dari dua vaksin virus utuh yang tidak aktif, yaitu Sinovac dan Sinopharm terhadap infeksi COVID-19 dibandingkan vaksin mRNA yakni Pfizer-BioNTech dan Moderna.
Baca juga:
Apakah Vaksin COVID-19 Bisa Membatalkan Puasa?
Mereka yang menerima vaksin Sinovac 4,59 kali lebih mungkin untuk memiliki COVID-19 parah dibandingkan penerima vaksin Pfizer-BioNTech. Mereka juga 2,37 kali lebih mungkin terinfeksi, dibandingkan yang menggunakan vaksin Pfizer-BioNTech.
Penyakit parah didefinisikan sebagai mereka yang membutuhkan suplementasi oksigen di rumah sakit, masuk unit perawatan intensif (ICU) atau kematian.
Temuan juga menunjukkan vaksin Moderna lebih efektif dalam mencegah penyakit parah daripada vaksin Pfizer-BioNTech.
Mereka yang menggunakan Moderna ditemukan kurang dari setengah (0,42) kali lebih mungkin mengembangkan COVID-19 parah ketimbang penerima Pfizer-BioNTech. Mereka juga lebih kecil kemungkinannya untuk terinfeksi.
Mengutip laporan dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, efektivitas vaksin Moderna yang lebih tinggi kemungkinan. Sebab kandungan mRNA yang lebih tinggi dalam vaksin Moderna dan interval waktu yang lebih lama antara suntikan.
“Individu yang divaksinasi dengan dua dosis vaksin virus utuh yang tidak aktif diamati memiliki perlindungan yang lebih rendah terhadap infeksi COVID-19 dibandingkan dengan mereka yang divaksinasi dengan vaksin mRNA,” kata penelitian tersebut.
“Namun, baik vaksin mRNA dan vaksin virus utuh yang tidak aktif memberikan perlindungan yang cukup terhadap penyakit parah COVID-19 dan vaksinasi tetap menjadi strategi utama melawan pandemi,” simpul peneliti.