Technologue.id, Jakarta - Polemik tentang regulasi terkait layanan Over The Top (OTT) masih terus berlangsung hingga akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pasalnya Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kominfo hingga kini belum menerbitkan aturan yang jelas terkait layanan Over The Top (OTT).
Sejumlah pihak seperti perusahaan operator telekomuniasi hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah mendesak pemerintah dalam hal ini Kominfo untuk membuat regulasi layanan OTT. Bahkan DPR tidak hanya mendesak Kominfo tetapi juga Kementerian BUMN untuk segera menerbitkan layanan OTT.
Saat ini, masyarakat Indonesia semakin bergantung terhadap layanan OTT asing. Ketika sudah tergantung terhadap layanan OTT asing, banyak masyarakat justru mengeluh mengenai kelambatan akses internet di Indonesia.
Baca Juga:
Starlink Mau Masuk Indonesia, Silakan Saja Asal…
Ketika OTT khususnya dari negara luar menikmati keuntungan dari masyarakat Indonesia, justru perusahaan operator telekomunikasi negeri ini menderita. Hal ini lantaran mereka dipaksa untuk membangun infrastruktur digital yang cepat dan andal. Padahal untuk membangun infrastruktur digital yang mumpuni jelas tidaklah mudah serta tidak murah.
Belum lagi beban operator telekomunikasi yang saat ini sangat berat dengan regulatory charge yang besar yang diminta oleh negara. Mereka harus menanggung beban besar tetapi juga dituntut pemerintah untuk menyediakan infrastruktur terkini seperti 5G.
Dalam keterangannya, Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel, Sigit Puspito Wigati Jarot menyebut untuk menyehatkan industri seluler memang perlu ada regulasi untuk mengatur OTT. Dia menjelaskan jika saat ini terjadi ketimpangan pendapatan antara perusahaan operator telekomunikasi dengan Perusahaan OTT secara global.
“Dari data SNS Insider, OTT secara global mampu meraup US$295,24 miliar pada tahun 2021 dan kemungkinan akan tumbuh hingga US$1,951 triliun pada tahun 2030,” ujar Sigit, dalam acara Selular Business Forum dengan judul 'Urgensi Regulasi OTT Demi Mengembalikan Kesehatan Industri Seluler’, Rabu (27/12/2023).
Selain itu, Sigit juga menjabarkan perbandingan pendapatan telekomunikasi dengan OTT.
“Pendapatan operator telekomunikasi pada tahun 2010 memang bisa mencapai US$458 miliar dari SMS dan voice, sedangkan OTT dulu hanya US$41 miliar. Tetapi, kini pada tahun 2021 terbalik, perusahaan telekomunikasi hanya mendapat US$702 miliar sedangkan OTT US$753 miliar. Prediksinya pendapatan OTT akan terus naik ke depannya,” sambung Sigit.
Baca Juga:
Curhat ATSI Soal Industri Seluler Sedang Tidak Sehat
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi mengatakan saat ini perkembangan bisnis telekomunikasi terdestrupsi oleh perusahaan OTT yang membuat trafik voice dan SMS menurun. “Perusahaan telekomunikasi hanya seperti penyedia pipa (dumb pipe) dengan capex dan apex yang besar. Sementara OTT berselancar di atas jaringan yang dibangun perusahaan telekomunikasi,” kata Heru.
Hal tersebut yang membuat Heru berpendapat bahwa harus ada sumbangsih OTT untuk turut membantu operator telekomunikasi membangun infrastruktur digital. Caranya bisa dengan pajak digital hingga penerimaan negara bukan pajak atau PNBP.
Dia menambahkan Indonesia bisa belajar dari negara lain yang telah menerapkan digital services tax. “Indonesia bisa belajar dengan sejumlah negara yang telah menerapkan digital services tax (DTS) seperti Austria, Prancis, Hungaria, Italia, Polandia, Portugal, Spanyol, Turki dan Inggris, meskipun strukturalnya berbeda-beda,” sambung Heru.
Baca Juga:
Beban Operator Telco Dituntut Jadi Penopang Ekonomi Digital
Pengamat Telekomunikasi, Kamilov Sagala mengatakan OTT menumpang layanan operator telekomunikasi bahkan bisa mengabaikan kedaulatan negara. “Bahkan Presiden keluar negeri untuk bertemu bos OTT, kalau di operator telekomunikasi cuma sekelas Menteri yang datang,” kata Kamilov.
Tentu pemerintah harus segera membuat regulasi terkait OTT karena penting supaya OTT bisa turut mengambil beban universal service obligation (USO), lalu turut membayar biaya yang setara dengan biaya hak penyelenggara (BHP), turut membantu masyarakat yang dimarginalkan melalui CSR, hingga memperkuat kerjasama dengan operator.
“Bayangkan saja jika OTT mampu membantu membuat infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) maka masyarakat di sana juga bisa mengakses OTT dan pendapatannya juga semakin meningkat,” tandasnya.