Technologue.id, Jakarta - Serangan Hacker yang berasal dari Rusia, China, dan Iran berhasil dideteksi oleh Microsoft baru-baru ini. Dikatakan bahwa serangan tersebut menargetkan Joe Biden dan Donald Trump yang tengah bersaing di ajang pilpres AS.
Dalam postingan webnya, Corporate Vice President for Customer Security & Trust Microsoft Tom Burt mengungkap serangan itu berasal dari hacker yang bekerja untuk pemerintah. Meski begitu, ia menyebut sebagian besar serangannya telah berhasil diblokir.
Dilansir dari CNET pada Sabtu (12/9/2020), para hacker Rusia mempunyai strategi yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya dalam melakukan serangan siber ini. Mereka menggunakan serangan brute force, yakni terus menerus menebak kata sandinya akun target sampai berhasil.
Baca Juga:
Serangan Siber Meningkat, Staff Ahli Kominfo Ingatkan Agar Selalu Waspada
Tak tanggung-tanggung, mereka menargetkan 200 organisasi di AS, termasuk konsultan yang terkait dengan Partai Demokrat dan Republik. Untuk menutupi jejaknya, para hacker Negeri Beruang Merah menggunakan 1.000 alamat IP berbeda.
Untuk hacker yang berasal dari China, mereka melancarkan aksinya dengan meluncurkan ribuan bug dan berhasil menyusupi sekitar 150 orang antara Maret dan September. Para targernya adalah orang yang terkait dengan calon presiden Joe Biden.
Biden sendiri mengakuinya beberapa waktu lalu. Dalam kesempatan kampanyenya iya menyebut pihaknya menjadi sasaran serangan siber dan akan menanganinya dengan serius, waspada, dan memastikan setiap kampanyenya diamankan dari serangan siber.
Baca Juga:
Era Digital, Serangan Siber Tidak Pandang Bulu
Sedangkan Hacker Iran, mereka melakukan serangan siber dengan mencoba membobol akun milik staf kampanye Donald Trump. Aksi ini terus mereka lakukan di sepanjang Mei hingga Juni dengan lebih dari 2.700 serangan.
Isu keamanan siber sendiri memang menjadi perhatian utama sejak pilpres AS tahun 2016 lalu. Dimana para hacker Rusia berhasil membobol dan membocorkan email dari Democratic National Committe dan tim kampanye Hillary Clinton.
Sejak saat itu, badan pemerintah seperti FBI dan Cybersecurity and Infrastructure Security Agency terus meningkatkan dan memperketat penjagaan pemilihan umum dari serangan siber dan juga disinformasi online atau hoax.