Technologue.id, Jakarta - Prioritas keamanan data pada aplikasi pesan instan Telegram menuai pertanyaan publik setelah CEO Pavel Durov 'blak-blakan' mengenai jumlah engineer yang bekerja di perusahaan tersebut.
Dalam wawancara bersama komentator politik Tucker Carlson, Durov mengungkapkan bahwa ia hanya mempekerjakan sekitar 30 engineer untuk mengamankan keamanan siber platform. Selain CEO, dia juga ternyata menjadi satu-satunya manajer produk di Telegram.
Dilansir dari TechCrunch (25/6/2024), pernyataan ini memicu kekhawatiran di kalangan pakar keamanan siber. “Tanpa enkripsi end-to-end, dengan jumlah target rentan yang sangat banyak, dan server yang terletak di Uni Emirat Arab? Ini adalah mimpi buruk keamanan,” ujar Matthew Green, ahli kriptografi dari Universitas Johns Hopkins, kepada TechCrunch.
Baca Juga:
Telegram Tingkatkan Fitur Interaksi untuk Pemilik Akun Business
Secara default, percakapan di Telegram tidak dienkripsi end-to-end seperti di Signal atau WhatsApp. Pengguna harus memulai "Percakapan Rahasia" untuk mengaktifkan enkripsi tersebut, yang membuat pesan hanya dapat dibaca oleh penerima yang dituju. Kualitas enkripsi Telegram juga diragukan karena menggunakan algoritma enkripsi buatan sendiri yang dibuat oleh saudara Durov.
Eva Galperin, direktur keamanan siber di Electronic Frontier Foundation, menyoroti bahwa Telegram lebih dari sekadar aplikasi pesan. "Telegram bukan hanya aplikasi pesan, tetapi juga platform media sosial yang menyimpan banyak data pengguna. Percakapan yang tidak dienkripsi end-to-end disimpan oleh Telegram, yang berarti data pengguna rentan terhadap penyalahgunaan," katanya.
Galperin juga menekankan bahwa jumlah insinyur yang sedikit menunjukkan kurangnya infrastruktur untuk menangani permintaan hukum, penyalahgunaan, dan moderasi konten. "Dengan hanya 30 insinyur, tidak mungkin mereka dapat secara efektif melawan peretas, terutama yang didukung oleh pemerintah," tambahnya.
Baca Juga:
Update Aplikasi Telegram Hadirkan Beberapa Fitur Baru
Telegram tidak menanggapi permintaan komentar mengenai apakah mereka memiliki kepala keamanan atau berapa banyak insinyur yang didedikasikan untuk keamanan platform. Telegram, dengan hampir satu miliar pengguna, menjadi target menarik bagi peretas kriminal dan pemerintah. Popularitasnya di kalangan pekerja kripto, ekstremis, peretas, dan penyebar disinformasi menambah risiko keamanan.
Selama bertahun-tahun, para ahli telah memperingatkan bahwa Telegram tidak boleh dianggap sebagai aplikasi pesan yang benar-benar aman.