Technologue.id, Jakarta - Para ilmuwan di Tiongkok mengatakan mereka berhasil menciptakan chimera monyet menggunakan sel induk yang disuntikkan ke dalam embrio.
Sekadar informasi, chimera merupakan organisme yang mengandung sel dari dua individu atau lebih. Percobaan chimera sebelumnya dilakukan pada hewan seperti tikus dan mencit.
Baca Juga:
Lazada Dukung UMKM Tangkap Peluang Pertumbuhan Ekonomi Digital Indonesia
Untuk pertama kalinya, eksperimen chimera dilakukan yang melibatkan hewan primata. Para peneliti berharap terobosan ini akan membantu penelitian medis terhadap hal-hal seperti penyakit neuron motorik.
Para ilmuwan di balik penciptaan chimera monyet ini, menjelaskan secara rinci dalam jurnal Cell. Mereka berharap dapat menyempurnakan proses pada primata agar dapat mempelajari pengobatan penyakit neurodegeneratif dengan lebih baik, dikutip dari ABC News.
Bila ditilik dari sisi istilah, chimera berasal dari makhluk mitologi Yunani yang bentuknya seperti singa, dengan kepala kambing mencuat di punggungnya dan kepala serta badan ular di bagian ekornya.
Istilah chimera sekarang digunakan untuk makhluk hibrida fiksi apa pun yang terdiri dari bagian-bagian berbagai hewan. Di alam nyata, peneliti lebih familier untuk menyebut chimerisme, organisme tunggal yang mengandung sel dari satu atau lebih individu.
Chimera pertama yang lahir di laboratorium adalah tikus pada awal tahun 1960-an ketika ahli embriologi Andrzej Tarkowski dan Beatrice Mintz menggabungkan embrio menjadi satu.
Teknik yang sama kemudian digunakan pada babi, domba, kelinci, sapi, tikus, dan monyet. Pada tahun 1980-an, teknik berbeda dikembangkan di mana sel induk diambil dari satu embrio dan ditempatkan ke embrio lain.
Sel induk adalah bahan dasar organisme multisel. Sel induk memiliki kemampuan untuk membelah dan berubah menjadi jenis sel lain.
Baca Juga:
Fitur Garmin Vivoactive 5 Bisa Pantau Kesehatan Hingga Deteksi Kehamilan
Menariknya, peneliti menemukan monyet yang lahir dari proses rekayasa ilmiah ini memiliki mata berwarna hijau. Penelitian lebih lanjut tampaknya diperlukan untuk mengamati terkait perkembangan maupun kesehatan hewan tersebut.
Menurut ilmuwan, di masa depan, teknologi dapat digunakan untuk menghasilkan primata non-manusia transgenik yang dapat menjadi alat penting untuk lebih memahami penyakit tertentu pada manusia dan berpotensi memainkan peran penting dalam menemukan obatnya.