Technologue.id, Jakarta - Saat ini, banyak pemimpin usaha yang berusaha untuk hilangkan kesenjangan skill dan maksimalkan kinerja karyawan di tengah COVID-19. Riset terbaru IBM Institute for Business Value (IBV) mengungkapkan setidaknya 4 dari 10 eksekutif human resources (HR) yang di survei mengatakan bahwa, mereka memiliki skill yang dibutuhkan untuk mewujudkan strategi perusahaan mereka.
Riset IBM pada tahun 2018, menemukan bahwa, sebanyak 120 juta pekerja dari 12 negara dengan ekonomi terbesar di dunia butuh pelatihan ulang akibat kemunculan AI dan otomasi dalam tiga tahun ke depan.
Hal tersebut kemudian diperburuk dengan adanya pandemi COVID-19, di mana para petinggi perusahaan ingin adanya percepatan transformasi digital. Mereka pun mengakui bahwa kurangnya skill karyawan sebagai salah satu tantangan terbesar untuk maju.
Riset konsumen IBM yang sedang berlangsung juga menunjukkan bahwa ekspektasi karyawan atas perusahaan mereka telah berubah secara signifikan selama pandemi COVID-19. Namun, ada perbedaan pendapat antara karyawan dan perusahaan terkait efektifitas usaha perusahaan dalam tangani kesenjangan skill ini.
Sebanyak 74% eksekutif menganggap bahwa perusahaan telah membantu karyawan untuk pelajari keahlian yang dibutuhkan untuk beradaptasi dengan cara kerja baru. Sedangkan dari sisi karyawan, hanya 38% yang menjawab demikian. Selain itu, 80% eksekutif mengatakan bahwa perusahaan mendukung kesehatan fisik dan mental karwayan, dan hanya 46% karyawan mengatakan hal yang sama.
Managing Partner, IBM Talent & Transformation, Amy Wright. Dalam pertamuan virtual Hari Rabu (11/11) mengatakan, “Saat ini, keberhasilan dan kegagalan sebuah organisasi sangat dipengaruhi oleh kemampuannya untuk mendukung kelincahan dan ketahanan karyawan mereka.” Kata Amy.
Baca Juga:
Tingkatkan Kecakapan Data Science, Kominfo Gandeng IBM Dalam Program Digital Talent Scholarship 2020
Menurutnya, pemimpin perusahaan semestinya mulai melakukan perubahan demi penuhi ekspektasi karyawan karena adanya pandemi COVID-19, seperti memberikan dukungan menyeluruh untuk kesehatan, pengembangan keterampilan baru, dan pengalaman karyawan yang mengandalkan pendekatan pribadi atau personal, termasuk bagi karyawan yang bekerja dari jarak jauh.
“Penting bagi perusahaan untuk memulai era baru HR, dan perusahaan yang sudah mulai menerapkan era baru HR ini cenderung lebih mampu menangani disrupsi, saat ini, dan seterusnya.” Tambahnya.
Riset terbaru IBV, “Accelerating the journey to HR 3.0,” bekerja sama dengan analis independen Josh Bersin dari Josh Bersin Academy, menyajikan pengalaman dan wawasan 1.500 lebih eksekutif HR global dari 20 negara dan 15 bidang industri.
Berdasarkan wawasan tersebut, riset ini menyajikan sebuah pemetaan menuju era HR selanjutnya, dengan contoh praktikal tentang bagaimana eksekutif HR dari perusahaan dengan kinerja tinggi atau “high performing companies” (perusahaan terdepan dunia dari sisi profitabilitas, pertumbuhan pendapatan, dan inovasi) bisa memperbarui fungsi HR mereka untuk membangun tenaga kerja yang berkelanjutan.
Poin-poin penting dari riset tersebut antara lain:
- Terdapat 6 dari 10 perusahaan dengan kinerja tinggi yang disurvei menggunakan AI dan analytic untuk membuat keputusan yang lebih baik mengenai karyawannya, seperti program pelatihan dan keputusan pemberian kompensasi. 41% perusahaan memanfaatkan AI untuk mengidentifikasi keahlian apa yang akan mereka butuhkan di masa depan, sementara 8% perusahaan masih mengandalkan masukan dari manusia (karyawan).
- 65% dari perusahaan dengan kinerja tinggi yang di survei, menggunakan AI untuk mengidentifikasi perilaku terampil atau behavioral skill seperti misalnya pola pikir yang menganggap bahwa segala sesuatu bisa dipelajari atau growth mindset dan kreativitas dalam membangun tim yang beragam dan adaptif, dibandingkan dengan 16% perusahaan yang masih mengandalkan masukan dari manusia (karyawan).
- Lebih dari dua pertiga responden setuju bahwa HR di masa depan harus mampu bekerja dengan tangkas. Namun, kurang dari setengah di antara HR organisasi yang berpartisipasi dalam survei ini memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah menggunakan pendekatan solusi praktis dan kreatif atau kemampuan untuk bekerja dengan cepat atau agile practices.
- 71% dari perusahaan dengan kinerja tinggi yang di survei melaporkan bahwa mereka menggunakan arisitektur teknologi HR yang konsisten, dibandingkan dengan 11% lainnya.
Josh berpendapat bahwa untuk mencapai keselarasan bisnis jangka panjang antara pemimpin perusahaan dan para karyawan, saat ini HR semestinya berperan sebagai penasihat strategis, sebuah peran baru bagi HR perusahaan.
“Saat ini, banyak departemen HR berencana untuk mengadopsi teknologi, seperti cloud dan analytics agar bisa melakukan pendekatan terpadu dan mandiri dalam memenuhi tanggung jawab HR tradisional. Terutama terkait pemberdayaan karyawan melalui dukungan secara menyeluruh yang bisa mendorong perubahan strategis lebih besar demi kemajuan bisnis.” Pungkasnya.