Technologue.id, Jakarta - Thailand meluncurkan pusat berita palsu untuk memonitor dan memberantas berita-berita bohong yang tersebar luas di media. Upaya Thailand ini untuk melakukan kontrol atas berbagai konten negatif. Negara Gajah Putih tersebut merasa stabilitas keamanan nasionalnya terancam lantaran banyak informasi palsu yang tersebar luas menyesatkan dan merusak citra diri negara. Informasi yang tersebar sebagian besar merupakan opini kritis terhadap pemerintah, militer, dan keluarga kerajaan.
Baca Juga: Aksi LINE Redam Peredaran Berita Hoax di Platformnya
Menteri Ekonomi Digital dan Masyarakat, Puttipong Punnakant, membuat pusat pelayanan yang dimaksudkan sebagai medan perang. Ruang pusat pelayanan disertai monitor yang menunjukan grafik berita palsu terbaru dan trending Twitter. Pusat pelayanan ini dikelola sekitar 30 petugas yang akan meninjau konten online. Beragam topik seperti bencana alam, ekonomi, produk kesehatan, dan barang terlarang terus mendapatkan pengawasan. "Para petugas juga menargetkan berita tentang politik yang secara luas mempengaruhi keamanan dan ketertiban nasional," jelas Puttipong. Jika terindikasi melakukan kesalahan, mereka akan menandainya ke pihak berwenang untuk dikoreksi melalui platform media sosial dan situs web pusat dan juga melalui pers. Di sisi lain, Kelompok-kelompok pendukung kebebasan media khawatir pemerintah akan menggunakan pusat anti berita palsu tersebut sebagai alat untuk penyensoran dan propaganda. "Dalam konteks Thailand, istilah 'berita palsu' dipersenjatai untuk menyensor para pembangkang dan membatasi kebebasan online kami," kata Emilie Pradichit, direktur Manushya Foundation yang berbasis di Thailand, yang mengadvokasi hak-hak online.Baca Juga: Tiap Bulan, WhatsApp Blokir 2 Juta Akun Bodong Penyebar Hoax
Pradichit mengatakan langkah itu dapat digunakan untuk menyusun sensor, dan menambahkan bahwa pusat itu akan memungkinkan pemerintah menjadi "penentu kebenaran". Laporan transparansi dari perusahaan internet seperti Facebook dan Google menunjukkan permintaan pemerintah Thailand untuk mengambil konten atau menyerahkan informasi telah meningkat sejak militer merebut kekuasaan pada tahun 2014. Undang-undang yang melarang kritik terhadap kerajaan seringkali menjadi dasar permintaan Facebook. Dalam kasus Google, kritik pemerintah adalah alasan utama yang dikutip untuk menghapus konten.