Technologue.id, Jakarta - Keputusan Tesla mendirikan pabrik mobil listrik di Malaysia menjadi pukulan telak untuk Indonesia. Pasalnya, Indonesia tengah mencari investasi untuk membangun ekosistem rantai pasokan mobil listrik yang menyeluruh.
Dikutip dari Asiantimes, Rabu (18/10/2023), baru-baru ini para produsen mobil listrik termasuk Tesla, tengah beralih menggunakan nikel yang mengandung mineral litium-besi-folfat (LFP) sebagai sumber baterai kendaraan listrik mereka.
Baca Juga:
Nama Ganjar Mahfud Trending di X (Twitter)
Mineral-mineral tersebut diklaim lebih mudah didapat dan hemat biaya. Jika konversi ini meluas, hal tersebut akan berdampak buruk terhadap hilirisasi ambisius di Indonesia.
Seperti diketahui, kebijakan hilirisasi di Indonesia bertujuan untuk menggunakan dan mengolah cadangan nikel serta produksi bijih nikel menjadi produk dengan kadar tinggi.
Nikel bermutu tinggi ini merupakan komponen penting yang digunakan dalam produksi baterai kendaraan listrik berbasis baja tahan karat dan nikel kobalt mangan (NCM).
Untuk menilai dampak peralihan produsen kendaraan listrik dari baterai NCM ke LFP terhadap industri nikel di Indonesia, ada baiknya jika membandingkan kedua jenis baterai tersebut.
Baca Juga:
Sebelum Pre-order, Ketahui "Penyakit" iPhone 15 Series
Menurut laporan terbaru, biaya baterai LFP kira-kira lebih murah US$12 per kWh, karena mineral yang digunakan lebih banyak dan lebih mudah diakses.
Namun, baterai LFP memiliki beberapa kelemahan dibandingkan rivalnya NCM. Salah satunya adalah jarak tempuh yang lebih rendah (diperkirakan kurang dari sepertiganya), jika dicoba pada cuaca dingin karena kepadatan energi LFP lebih rendah.
Kelemahan lainnya adalah nilai daur ulangnya yang lebih rendah. Jika diperhitungkan dalam penghitungan biaya, kesenjangan biaya antara baterai NCM dan LFP cukup besar.
Baca Juga:
Link Preorder Ponsel Pintar iPhone 15, Cek Juga Harga Lengkapnya
Jika antisipasi peralihan ke baterai LFP yang lebih hemat biaya terjadi, Indonesia harus mempertimbangkan untuk mengkalibrasi ulang kombinasi antara kapasitas dan investasi dalam pemrosesan nikel kelas 1 dan kelas 2.
Hal ini berarti lebih fokus pada pengembangan dan investasi dalam produksi iron nikel kualitas rendah untuk manufaktur baja tahan karat. Indonesia juga harus mempertimbangkan untuk tidak lagi menerapkan larangan ekspor nikel yang tegas