Technologue.id, Jakarta - Asosiasi Industri Seluler Global, GSMA mengungkapkan bahwa rencana pemerintah Indonesia untuk mendorong percepatan transformasi digital bisa terhambat, kecuali dilakukan peninjauan kembali terkait harga spektrum seluler 5G.
Berdasarkan analisis GSMA, skenario terburuknya yakni sekitar sepertiga manfaat sosioekonomi 5G atau sekitar Rp216 triliun bisa hilang dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2024-2030 jika harga pita spektrum baru masih versi yang lama.
Baca Juga:
Transformasi Digital Dorong Efisiensi hingga Antisipasi Serangan Siber di Sektor Energi
Head of Asia Pacific GSMA, Julian Gorman mengatakan, keputusan Pemerintah Indonesia memprioritaskan pembangunan infrastruktur TIK, termasuk penyelesaian penggelaran 4G dan pengembangan jaringan 5G, sudah tepat, tapi masih membutuhkan waktu.
"Pengadaan 5G di Indonesia ini perlu waktu, karena dibutuhkan pendekatan yang cermat dari pemerintah lantaran kendala geografis dan kesiapan pasar di Indonesia. Perkiraan kami, 80% dari total populasi Indonesia akan menggunakan layanan 5G di tahun 2030,” jelasnya.
Julian menambahkan, sejak 2010 perkiraan biaya total spektrum tahunan bagi operator seluler telah meningkat lebih dari lima kali lipat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh biaya yang berkaitan dengan pelelangan dan biaya spektrum frekuensi yang terkait dengan perpanjangan perizinan.