Technologue.id, Jakarta – Populernya layanan ridesharing dewasa ini faktanya tak cuma dimeriahkan oleh perusahaan populer seperti Uber, Go-Jek, hingga Grab. Startup yang skalanya lebih kecil, baik dari armada maupun wilayah operasi, pun tak gentar berduel dengan raksasa seperti mereka. Di Eropa, belum lama ini lahir kompetitor Uber bernama Taxify. Didirikan sekaligus dipimpin oleh Markus Vilig, remaja 23 tahun yang drop-out dari kuliahnya, startup tersebut punya keunggulan dibandingkan Uber, yakni tarifnya yang lebih murah.
Baca juga:
Kok Sekarang Banyak Mobil Pribadi yang Kaca Belakangnya Ditempeli Iklan?
BusinessInsider (04/09/17) yang membandingkan tarif Taxify dengan layanan UberX di London menemukan bahwa ongkos yang harus dibayarkan konsumen Taxify hampir tiga kali lebih murah untuk jarak perjalanan yang sama. Kendati demikian, belum bisa dipastikan apakah tarif tersebut hanya berlaku di awal-awal atau bakal bertahan di standar itu seterusnya. Di samping itu, Taxify juga mengaku ingin membahagiakan mitranya Caranya dengan mengambil komisi per perjalanan lebih rendah dari Uber. Ketika Uber mengambil 20 sampai 25 persen untuk jatah komisinya per transaksi, Taxify mengklaim hanya meminta jatah 10 sampai 15 persen dari para mitranya.Baca juga:
Oppo Dirikan Service Center Terbesar di Jabotabek, di Sini Lokasinya
Walau begitu, Taxify bukannya melenggang tanpa hambatan. Dengan tarif yang rendah, startup ini disoroti apakah mampu memberikan kesejahteraan pada para driver-nya. Untuk "mengakali" itu, Vilig membebaskan mitra Taxify untuk bergabung dengan layanan taksi online lain, termasuk Uber.Baca juga:
Cara Bikin Dokumen Microsoft Word yang Tanggalnya Bisa Update Sendiri
Startup asal Estonia ini didirikan empat tahun lalu, tepatnya Agustus 2013. Kini, Taxify sudah beroperasi di 18 negara, meliputi Eropa, Asia Barat, hingga Afrika.